Bank Indonesia (BI) telah memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bps). Suku bunga kredit perbankan pun diharapkan dapat mengalami penurunan selaras dengan suku bunga acuan.
BI memangkas suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 6,0% pada Rabu (18/9/2024) sementara suku bunga Deposit Facility juga dipangkas menjadi 5,25%, dan suku bunga Lending Facility menjadi 6,75%.
Pemangkasan suku bunga ini adalah yang pertama sejak Februari 2021. BI mengerek suku bunga sebesar 275 bps sepanjang Agustus 2022-April 2024 dari 3,50% menjadi 6,25% sebelum menahannya pada Mei, Juni, Juli, dan Agustus 2024.
Seringkali menjadi pembahasan apakah dengan penurunan suku bunga acuan, maka suku bunga kredit akan mengalami penurunan juga?
Berdasarkan penelusuran CNBC Indonesia Research, BI pernah memangkas suku bunganya pada Juli 2019 sebesar 25 bps dari 6% ke 5,75%. Pada saat itu, Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), masing-masing berada di angka 10,13%, 12,9%, dan 10,77% (korporasi, mikro, dan Kredit Kepemilikan Rumah/KPR).
Tiga bulan setelahnya atau tepatnya pada Oktober 2019, SBDK korporasi dan KPR mengalami penurunan menjadi 9,95% dan 10,7%. Sementara SBDK mikro mengalami kenaikan tipis menjadi 12,97%.
Lebih lanjut, hingga Oktober 2019, BI terus menurunkan suku bunganya hingga mencapai level 5%. Disaat yang bersamaan, SBDK korporasi, mikro, dan ritel tidak terlalu berbeda jauh dibandingkan sebelumnya, yakni masing-masing sebesar 9,97%, 13,04%, dan 10,79%.
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual menyampaikan bahwa ketika BI rate turun, maka suku bunga kredit perbankan akan ikut mengalami penurunan pula namun hal ini bersifat lagging.
“Biasanya suku bunga deposit dulu yang turun dan secara historis lebih dari tiga bulan laggingnya,’ ujar David.
Begitu pula Ekonom Bank Danamon, Hosianna Situmorang, yang mengatakan bahwa memang akan ada waktu lagging sekitar 2-3 bulan hingga akhirnya SBDK dapat turun sekitar 10 bps.
Pantauan CNBC Indonesia Research terhadap SBDK yakni ketika BI rate turun, SBDK korporasi terpantau turun dengan cukup konsisten jika dibandingkan dengan SBDK mikro maupun KPR.
Terlihat dari periode Juli 2019 hingga Mei 2021 yang secara konsisten terus mengalami penurunan bersamaan dengan turunnya BI rate.
Suku Bunga Kredit dan SRBI
Kendati BI rate dipangkas, sejumlah analis memperkirakan transmisi kebijakan suku bunga acuan ke bunga perbankan akan memakan waktu lebih lama. Apalagi saat ini terdapat instrumen investasi baru yakni Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang diterbitkan sejak September 2023 atau satu tahun lalu.
Seperti diketahui, pada September 2023, BI meluncurkan SRBI sebagai instrumen operasi moneter menggantikan Reverse Repurchase Agreement (Reverse Repo) Surat Berharga Negara atau RR SBN untuk tenor 6, 9, dan 12 bulan.
Bagi bank, SRBI bisa disimpan untuk menambah likuiditas ataupun mendapatkan revenue dengan menjualnya ke pihak lain seperti perusahaan pengelola aset, investor baik dalam ataupun luar negeri, dan investor ritel.
Kehadiran SRBI semula diharapkan bisa meningkatkan pasar sekunder (jual-beli) SRBI antar bank serta bank dengan investor institusi keuangan asing. SRBI juga diharapkan bisa meningkatkan transaksi repo antar bank dengan menggunakan SRBI sebagai kolateral.
Imbal hasil dari SRBI saat ini berada di kisaran 7%, masih 100 bps di atas BI rate. Dengan tingginya imbal hasil yang diperoleh maka menempatkan dana di SRBI akan sangat menarik.
Imbal hasil SRBI akan lebih menarik sebagai acuan dibandingkan BI rate saat bertransaksi pinjam meminjam antar bank ataupun transaksi repo.
Sebagai kompensasi bunga pinjaman yang lebih tinggi dari BI rate, bank peminjam tentu juga akan menggunakan bunga acuan yang lebih tinggi saat memberikan pinjaman kepada pihak lain. Dampak panjangnya, bunga pinjaman pun akan sulit turun sehingga pertumbuhan kredit bisa terhambat.
Kehadiran SRBI dengan bunga tinggi juga bisa menambah dampak negatif lain yakni kekhawatiran terjadinya fenomena Crowding out. Istilah ini menggambarkan terserapnya aliran dana dari pasar keuangan ke salah satu instrumen otoritas, sehingga likuiditas sulit diperoleh oleh pelaku pasar keuangan.
BI sendiri berkomitmen menyesuaikan penerbitan SRBI, seiring dengan penguatan rupiah dan derasnya aliran modal yang masuk ke pasar keuangan domestik.
Dengan berkurangnya penerbitan maka jumlah SRBI yang ada di pasar sekunder akan perlahan berkurang untuk semua tenor. Imbal hasil pun diharapkan turun. Likuiditas yang semula ketat pun bisa melonggar sehingga persaingan perebutan dana berkurang.
CGS International mencatat dalam penerbitan terbaru, imbal hasil SRBI (12 bulan) turun 37 basis poin (bps) dari puncaknya 7,54% pada akhir Juni 24, sementara penerbitan menjadi kurang sering.
Nominal issued untuk SRBI enam bulan maupun 12 bulan terpantau terus mengalami penurunan. Untuk tenor enam bulan, penerbitan SRBI tak sampai Rp1 triliun dan untuk tenor 12 bulan tak sampai Rp13 triliun.
how to take priligy Berd D, Mastrangelo MJ