Ekonomi RI Dalam Bahaya Jika Kelas Menengah Jatuh Miskin

Foto: Sejumlah karyawan melewati jembatan penyeberangan orang (JPO) di kawasan Sudirman, Jakarta, Selasa (29/11/2022). Kepala Disnakertrans provinsi DKI Jakarta Andri Yansyah mengungkapkan kenaikan UMP 2023 DKI Jakarta sebesar 5,6% ke Rp 4.901.798. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Kalangan ekonom memperingatkan pemerintah mengenai bahaya fenomena menurunnya daya beli kelas menengah di Indonesia. Di negara lain, kelas menengah yang tak puas bisa memicu pelemahan ekonomi, bahkan instabilitas politik.

Ekonom senior Chatib Basri pernah menceritakan pengalamannya bertemu dengan mantan Presiden Chile Michelle Bachelet di Harvard Ministerial Forum di Harvard University akhir tahun lalu. Kepada Chatib, Michelle pamer soal keberhasilannya mengatasi kemiskinan. Meski demikian, krisis sosial tetap terjadi bahkan nyaris berujung revolusi.

Ekonom asal Amerika Serikat, Sebastian Edwards menyebut fenomena di negara Amerika Latin itu sebagai Chilean Paradox. Terma itu merujuk pada peristiwa meletusnya kerusuhan yang dimotori kelas menengah Chile pada 2019. Padahal ketika itu kondisi perekonomian sedang bagus-bagusnya.

Chile merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Amerika Latin. Negara kaya minyak itu juga berhasil menurunkan kemiskinan dari 53% menjadi 6%. “Lebih baik dari Indonesia,” kata Chatib beberapa waktu lalu melalui akun X, dikutip Rabu, (30/7/2024).

Chatib menuturkan kerusuhan di Chile disebabkan oleh kelas menengah yang tak puas dengan pemerintah. Warga Chile menilai, kebijakan pemerintah Chile terlalu berfokus pada 10% masyarakat terbawah. Sementara, kebutuhan kelas menengah terhadap pendidikan yang bagus dan fasilitas umum yang layak kurang mendapatkan perhatian.

“Sebagian policy-nya itu fokus pada sepuluh persen ke bawah,” kata dia.

Chatib mengatakan pemerintah Indonesia harus belajar dari peristiwa ini. Dia bilang dalam beberapa tahun ke depan kelas menengah akan mendominasi penduduk Indonesia dan bahkan bisa mempengaruhi lingkungan politik hingga sosial. Ia menyebut kelas menengah ini akan menjadi pengeluh profesional atau professional complainer yang semakin berpengaruh, seperti di media sosial saat ini.

“Saya ga akan terkejut kalau 10 tahun lagi orang bisa terpilih jadi presiden kalau dia bisa menyelesaikan masalah sampah, parkir dan fasilitas umum karena urbanisasi yang terjadi,” lanjut dia.

Kekhawatiran Chatib mengenai kelas menengah sebagai mayoritas yang terpinggirkan nampaknya mulai terlihat dalam data-data perekonomian terbaru. Data perekonomian menunjukan jumlah kelas menengah di Indonesia merosot sejak 2019.

Mengacu pada standar Bank Dunia, proporsi kelas menengah di Indonesia menciut dari 21,4% sebelum pandemi menjadi 17,4% dari populasi setelah pandemi Covid-19. Kebanyakan dari mereka jatuh ke kelas ekonomi yang lebih rendah, yaitu aspiring middle class (AMC) dan kelas rentan.

Menurunnya proporsi kelas menengah ini ditengarai disebabkan karena merosotnya pendapatan hingga PHK yang terjadi selama pandemi. Berkurangnya pendapatan dan PHK ini disusul dengan terjadinya inflasi tinggi, terutama di sektor makanan pokok.

Dalam laporan berjudul “Aspiring Indonesia – Expanding the Middle Class”, Bank Dunia menekankan kelas menengah adalah sumber dari hampir setengah total pengeluaran rumah tangga di Indonesia. Maka, jika daya beli mereka dijaga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih tinggi dari 5%.

Bank Dunia mencatat, 45% penduduk Indonesia atau setara 115 juta orang pada 2020 merupakan kelas menengah rentan atau aspiring middle class (AMC). Mereka adalah kelompok miskin yang berhasil naik kelas, namun masih rentan miskin jika tidak diurus pemerintah melalui kebijakan yang tepat dalam menjaga daya belinya.

Sayangnya, menurut ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan pemerintah seperti tidak awas dengan kondisi tertekannya daya beli kelas menengah. Menurut dia, belakangan pemerintah justru membuat kebijakan yang kontraproduktif dengan tujuan memperkuat daya beli kelas menengah. Kebijakan itu di antaranya Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025.

“Kebijakan itu memang bisa menaikkan penerimaan pajak di awal, tapi akan memukul perekonomian,” kata dia.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa ragu banyak kelas menengah di Indonesia yang jatuh miskin. Menurut dia, yang terjadi hanyalah pergeseran pola kerja yang membuat mereka tidak tercatat dalam statistik.

“Yang mungkin buat saya adalah terjadi migrasi dari mereka yang bekerja di sektor formal… sekarang bekerja sendiri, menjadi self-employee,” kata Suharso.

Suharso mengatakan masa pandemi Covid-19 melahirkan kelas pekerja baru, yaitu mereka yang bekerja dari rumah atau work from home. Para pekerja ini, kata dia, kemudian meninggalkan pekerjaannya di perusahaan untuk membangun usahanya sendiri yang berbasis digital.

“Saya kasih contoh, banyak anak-anak Indonesia sekarang mendapatkan pekerjaan menggambar dari perusahaan-perusahaan besar di Amerika dan sebagainya,” ujar Suharso.

Sayangnya, Suharso mengatakan mereka yang berpindah pekerjaan ini belum tercatat dalam data pemerintah. Sehingga seolah terjadi penurunan proporsi kelas menengah dari seluruh populasi di Indonesia. “Nah kita belum punya data ini, migrasi ini,” ujar Suharso

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*