Para pejabat pembuat kebijakan seringkali menjadikan rakyat geram. Mereka yang diamanahkan untuk mensejahterakan malah menghasilkan keputusan memberatkan sehingga menimbulkan sikap antipati dari rakyat.
Salah satu contoh paling legendaris dan tragis atas kasus ini pernah menimpa pejabat di Jakarta (dulu Batavia) bernama Qiu Zuguan. Semasa hidup, Qiu kerap membuat kebijakan yang memberatkan, sehingga rakyat sangat membencinya. Bahkan, saat Qiu wafat, tak ada warga yang mengantarkan jasadnya ke liang lahat. Saking dibenci.
Bagaimana kisahnya?
Sejarawan Leonard Blusse dalam The Chinese Annals of Batavia (2018) menjelaskan, Qiu diangkat menjadi pejabat oleh Gubernur Jenderal VOC, Joan van Hoorn, pada 1705. Dia ditempatkan di lembaga bernama Boedelkamer yang mengurusi harta peninggalan orang-orang China di Batavia.
Sebagai catatan, kala itu banyak orang China, yang lama bermukim di Batavia, memutuskan kembali ke negara asal. Mereka pulang kampung tak hanya membawa badan, tapi juga barang dan harta bergerak.
Pada titik ini, Qiu ditugaskan Gubernur Jenderal untuk menarik pajak dari perpindahan tersebut. Dia juga ditugaskan mengurus administrasi orang-orang China, terutama terkait ahli waris dan kepemilikan harta di Batavia.
Meski begitu, dalam perjalanannya, Qiu bertindak di luar tugas yang ditetapkan. Selama enam tahun menjadi pejabat, Qiu tercatat sering membuat kebijakan memberatkan.
Dia pernah membebankan pajak upacara perkawinan terhadap orang China. Pajak ini membuat orang China di Batavia menjerit sebab makin menambah beban pajak yang harus dikeluarkan.
Perlu diketahui, orang China di Batavia selalu menjadi sasaran utama wajib pajak. Benny G. Setiono lewat Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008) menceritakan, selama tinggal di Batavia, orang China dibebankan pajak kepala dan pajak kuku. Jika tak mau membayar, maka bisa dipenjara 8 hari dan denda 25 gulden.
Di tengah besarnya beban tersebut, orang China harus dibebankan lagi pajak perkawinan yang dibuat Qiu. Bisa-bisa penghasilan mereka habis hanya karena besarnya potongan pajak. Dari sini, mereka sangat membeci Qiu.
Kebencian terhadap pejabat VOC itu perlahan meluas. Bukan hanya dari warga China, tapi juga orang Belanda dan pribumi. Penyebabnya karena Qiu mewajibkan rakyat Batavia membeli sertifikat kematian dari lembaganya.
Tentu, kebijakan ini menambah beban rakyat, khususnya mereka yang dilanda duka. Sudah dirundung malang, orang yang berduka tetap diperas pemerintah. Semua ini lantas membuat Qiu jadi objek kebencian warga.
Namun, rasa benci hanya sampai di mulut saja. Barulah puncaknya ketika Qiu wafat pada Juli 1721. Seperti biasanya, jasad orang wafat pasti akan diantar hingga ke liang lahat.
Sayang, ini tak terjadi pada jasad Qiu. Tak ada satupun warga bersedia mengantarkan jasadnya ke kuburan. Para warga mengaku mereka tak mau menolong Qiu sebab sang pejabat VOC itu menyusahkan rakyat semasa hidup.
“Alhasil, peti mati berisi jasad Qiu diletakkan begitu saja di tengah jalan karena tidak ada orang mau mengangkatnya sampai kuburan,” ungkap Leonard Blusse.
Saking tidak ada yang mau membawa, keluarga dan pejabat kolonial sampai membuat bujuk rayu. Namun, hasilnya nihil. Jasad Qiu tetap di tengah jalan. Alhasil, pemakaman pun tertunda.
Sampai akhirnya, pemakanan selesai ketika keluarga menyewa warga lokal untuk mengusung peti mati Qiu. Meski sudah di liang lahat, tak sedikit warga yang masih memendam amarah kepada Qiu Zuguan.